Kamis, 18 Maret 2021

Fullday school: untuk apa?

 

www.nusantaranews.com


Sudah lama saya memiliki keinginan untuk menulis tentang Fullday-school. Namun baru kali ini kesampaian. Ide menulis topic ini muncul melalui ilham yang berasal dari aktivitas kuliah Master Degree yang saya jalani. Jurusan master of education yang saya ambil mengharuskan saya untuk membaca banyak artikel di berbagai jurnal yang terkait dengan pendidikan. Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk memberikan kritik konstruktif terhadap pemerintah dalam membuat kebijakan fullday school. Mungkin kritikan ini akan sulit untuk sampai kepada para pembuat kebijakan dalam sector pendidikan di negeri ini. Namun, setidaknya ini adalah bentuk pertanggungjawaban moral saya untuk berkontribusi pemikiran sebagai insan yang terlibat dalam dunia pendidikan.

Mungkin ada banyak orang Indonesia yang bertanya-tanya, termasuk saya, tentang mengapa pemerintah mengeluarkan kebijakan adanya fullday school. Fullday school adalah kebijakan pemerintah yang memperpanjang jam sekolah. Adanya kebijakan fullday school tersebut membuat Indonesia menempati peringkat ke-empat dunia dalam hal durasi belajar di sekolah. Jam sekolah di Indonesia menjadi 1176 jam per tahun. Sebagai perbandingan, Fnlandia, Negara yang sering disebut memiliki system dan output pendidikan terbaik dunia hanya memiliki 717 jam sekolah per tahun. Sengaja saya sebutkan satu Negara pembanding, sebagai bahan untuk kita mengulas adakah korelasi antara durasi waktu belajar di sekolah dengan pencapaian prestasi siswa.

Pertanyaan pertama adalah kenapa pemerintah, dalam hal ini adalah menteri pendidikan dan kebudayaan, mengeluarkan kebijakan fullday school. Saya mencoba mencari berbagai literature untuk menemukan jawaban atas pertanyaan ini. Satu artikel menarik yang mengulas pertanyaan ini adalah yang diterbitkan oleh CNN Indonesia (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160808135054-20-149886/alasan-menteri-muhadjir-usulkan-full-day-school). Headline artikel tersebut adalah “alasan menteri Muhadjir usulkan full-day school”. Disebutkan bahwa tujuan Menteri Muhadjir membuat kebijakan tersebut adalah sebagaimana yang dia katakan sebagai berikut “

“Tujuannya membuat anak memiliki kegiatan di sekolah dibandingkan berada sendirian di rumah ketika orang tua mereka masih bekerja. "Dengan sistem full day school ini secara perlahan anak didik akan terbangun karakternya dan tidak menjadi 'liar' di luar sekolah ketika orang tua mereka masih belum pulang dari kerja. Dengan menambah waktu anak di sekolah, mereka bisa menyelesaikan tugas-tugas sekolah dan mengaji sampai dijemput orang tuanya usai jam kerja. Dan, anak-anak bisa pulang bersama-sama orang tua mereka, sehingga ketika berada di rumah, mereka tetap dalam pengawasan, khususnya orang tua”.

Dari alasan yang dikemukakan oleh Menteri Muhadjir tersebut bisa disimpulkan bahwa dasar atas kebijakan tersebut bukanlah soal pencapaian prestasi belajar siswa. Dasarnya adalah adanya pandangan bahwa anak yang pulang sekolah sementara orang tuanya tidak berada di rumah mempunyai potensi untuk tidak terurus dan cenderung liar. Harapannya, dengan adanya fullday school, anak masih berada di sekolah hingga orang tua mereka berada di rumah sepulang kerja. Alasan ini seperti menggeneralisir bahwa semua orang tua siswa di Indonesia adalah para pekerja regular sebagaimana pekerja kantoran yang berangkat pagi pulang sore. Padahal nyatanya tidak demikian. Banyak ibu rumah tangga yang selalu berada di rumah mengurusi urusan rumah.

Poin tujuan selanjutnya adalah bahwa fullday school ini diharapkan bisa memberikan kesempatan bagi sekolah untuk meningkatkan pendidikan karakter. Sekolah memang salah satu pilar penting atas terbentuknya karakter positif siswa. Namun, menambah jam belajar di sekolah dengan tujuan untuk meningkatkan pendidikan karakter di sekolah sebenarnya sangat debatable. Kita sepertinya sangat terbiasa dengan pilihan sikap yang quantity-oriented. Menganggap bahwa kuantitas berkorelasi positif dengan hasil yang baik. Apakah ada jaminan bahwa lamanya siswa belajar di sekolah membuat pendidikan karakter berjalan dengan maksimal? Jangan sampai kita lupa bahwa pendidikan pertama yang diterima oleh seorang anak berada di lingkungan keluarga. Dengan adanya fullday school, anak pulang skeolah dalam keadaan lelah. Tentu mereka membutuhkan waktu untuk istirahat karena banyaknya aktivitas selama di sekolah. Hal itu tentu mengurangi porsi pendidikan karakter yang terbangun di lingkungan keluarga. Padahal peran keluarga sangat penting dalam pendidikan karakter.

Lingkungan masyarakat juga berperan dan berkontribusi cukup signifikan dalam pendidikan karakter seorang individu. Anggapan bahwa anak yang pulang sekolah relative awal dan punya terlalu banyak waktu luang setelahnya akan cenderung liar adalah anggapan yang sepertinya terlalu menggeneralisir. Di antara anak-anak sekolah, ada yang melanjutkan kegiatan mengaji di sore hari di madrasah-madrasah. Di madrasahmadrasah tersebut ada muatan pendidikan karakter yang sangat kental. Adanya fullday school, kesempatan pendidikan karakter yang disuguhkan oleh madrasah-madrasah tereliminasi. Banyak juga anak sekolah yang memiliki kegiatan positif lainnya sepulang sekolah. Di desa-desa, banyak anak yang membantu orang tua mereka mencari rumput untuk ternak mereka. Ada juga yang mengikuti kegiatan les yang mengasah bakat dan minat. Mengetahui hal ini, sebenarnya apa referensi pemerintah, sehingga menyimpulkan bahwa anak sebaiknya pulang sore untuk menghindari hal yang tidak diinginkan? Ini pertanyaan yang semestinya dijawab oleh pembuat kebijakan.

Pemerintah memiliki otoritas untuk membuat kebijakan yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Sudah selayaknya setiap kebijakan pemerintah diawali dengan kegiatan riset. Kebijakan-kebijakan yang dibuat tidak selayaknya dibuat hanya mengikuti pemikiran subjektif yang dimiliki oleh si pembuat kebijakan. Harus ada landasan ilmiah. Landasan ilmiah tersebut bisa didapatkan melalui riset. Adakah korelasi antara durasi waktu sekolah dengan prestasi siswa? Adakah korelasi antara durasi waktu seklah dengan terbentuknya karakter siswa? Dan sederet pertanyaan-pertanyaan lainya yang bisa dicari jawabannya melalui penelitian, sebagai dasar pembuatan kebijakan. Selain itu, penyelenggaraan pendidikan di Negara-negara maju juga selayaknya dijadikan sebagai bahan renungan. Mengapa FInlandia, Negara dengan jumlah jam belajar di sekolah relative sedikit, bisa meraih pencapaian yang besar dalam pendidikan. Apa variable-variable yang mempengaruhinya.

Mungkin fullday school layak diterapkan jika berbagai aspek penunjang wellbeing siswa dan tenaga pendidik terpenuhi. Siswa dan tenaga pendidik adalah manusia biasa yang memiliki siklus biologis. Ada moment semangat dan penuh energy, ada rasa lelah karena aktivitas, ada pula rasa ngantuk. Bayangkan, bagaimana rasanya menjalani kegiatan belajar di ruang kelas dengan berbagai aktivitas mendengarkan ceramah guru, mengerjakan tugas, dan berbagai aktivitas lainnya. Pendidik mungkin ada waktu jeda mengajar, sehingga bisa menyempatkan diri untuk rebahan beberapa menit atau jam. Apakah siswa memiliki kesempatan yang sama? Nyatanya tidak. Padahal tidur siang adalah hal yang secara ilmiah berpengaruh positif terhadap individu. Sebagaimana tidur siang bisa membantu menyegarkan pikiran, memacu kreativitas, meningkatkan kecerdasan, dan membuat hidup lebih sehat (Nishida, 2007). Pendidik yang kreatif mungkin bisa menghadirkan proses pembelajaran yang menarik dan engaging. Namun rasa lelah karena seharian belajar tentu tetap akan berpengaruh terhadap sikp siswa terhadap pembelajaran yang berlangsung. Sebagaimana yang disampaikan oleh Townsend (2016);

“ A lesson which is not present in ways that are stimulating might soon find students becoming what Barber ( 1996 ) called the “disappointed,” the “disaffected,” and the “disappeared.”

Artikel ini bukan untuk menyatakan persetujuan atau ketidaksetujuan pemerintah dalam membuat kebijakan fullday school. Namun ini adalah kritik agar pemerintah melandasi kebijakannya dengan riset ilmiah, bukan melalui pemikiran subjektif yang diamini oleh orang-orang yang terlibat di dalam rapat perumusan kebijakan. Jika memang riset menunjukkan adanya korelasi positif antara durasi belajar siswa di sekolah dengan pencapaian prestasi secara khusus, serta pencapaian tujuan pendidikan secara umum, maka layaklah kebijakan tersebut dirumuskan dan diterapkan.

 

Referensi

 

Nishida, M., & Walker, M. (2007). Daytime naps, motor memory consolidation and regionally specific sleep spindles. PloS One, 2(4), e341–e341. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0000341

Townsend T. (2016) Leading Schools in the Twenty-First Century: Careful Driving in the Fast Lane. In: Johnson G., Dempster N. (eds) Leadership in Diverse Learning Contexts. Studies in Educational Leadership, vol 22. Springer, Cham

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160808135054-20-149886/alasan-menteri-muhadjir-usulkan-full-day-school).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar