www.nusantaranews.com |
Sudah lama
saya memiliki keinginan untuk menulis tentang Fullday-school. Namun baru kali ini kesampaian. Ide menulis topic ini
muncul melalui ilham yang berasal dari aktivitas kuliah Master Degree yang saya jalani. Jurusan master of education yang saya ambil
mengharuskan saya untuk membaca banyak artikel di berbagai jurnal yang terkait
dengan pendidikan. Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk memberikan kritik konstruktif
terhadap pemerintah dalam membuat kebijakan fullday school. Mungkin kritikan
ini akan sulit untuk sampai kepada para pembuat kebijakan dalam sector pendidikan
di negeri ini. Namun, setidaknya ini adalah bentuk pertanggungjawaban moral
saya untuk berkontribusi pemikiran sebagai insan yang terlibat dalam dunia
pendidikan.
Mungkin
ada banyak orang Indonesia yang bertanya-tanya, termasuk saya, tentang mengapa
pemerintah mengeluarkan kebijakan adanya fullday school. Fullday school adalah
kebijakan pemerintah yang memperpanjang jam sekolah. Adanya kebijakan fullday
school tersebut membuat Indonesia menempati peringkat ke-empat dunia dalam hal
durasi belajar di sekolah. Jam sekolah di Indonesia menjadi 1176 jam per tahun.
Sebagai perbandingan, Fnlandia, Negara yang sering disebut memiliki system dan output pendidikan terbaik dunia
hanya memiliki 717 jam sekolah per tahun. Sengaja saya sebutkan satu Negara pembanding,
sebagai bahan untuk kita mengulas adakah korelasi antara durasi waktu belajar
di sekolah dengan pencapaian prestasi siswa.
Pertanyaan
pertama adalah kenapa pemerintah, dalam hal ini adalah menteri pendidikan dan
kebudayaan, mengeluarkan kebijakan fullday school. Saya mencoba mencari
berbagai literature untuk menemukan jawaban atas pertanyaan ini. Satu artikel
menarik yang mengulas pertanyaan ini adalah yang diterbitkan oleh CNN Indonesia
(https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160808135054-20-149886/alasan-menteri-muhadjir-usulkan-full-day-school).
Headline artikel tersebut adalah “alasan menteri Muhadjir usulkan full-day
school”. Disebutkan bahwa tujuan Menteri Muhadjir membuat kebijakan tersebut adalah
sebagaimana
yang dia katakan sebagai berikut “
“Tujuannya membuat anak memiliki kegiatan di sekolah dibandingkan berada
sendirian di rumah ketika orang tua mereka masih bekerja. "Dengan
sistem full day school ini secara perlahan anak didik akan
terbangun karakternya dan tidak menjadi 'liar' di luar sekolah ketika orang tua
mereka masih belum pulang dari kerja. Dengan menambah waktu anak di sekolah,
mereka bisa menyelesaikan tugas-tugas sekolah dan mengaji sampai dijemput orang
tuanya usai jam kerja. Dan, anak-anak bisa pulang bersama-sama orang tua
mereka, sehingga ketika berada di rumah, mereka tetap dalam pengawasan,
khususnya orang tua”.
Dari alasan yang dikemukakan oleh Menteri
Muhadjir tersebut bisa disimpulkan bahwa dasar atas kebijakan tersebut bukanlah
soal pencapaian prestasi belajar siswa. Dasarnya adalah adanya pandangan bahwa anak yang pulang
sekolah sementara orang tuanya tidak berada di rumah mempunyai potensi untuk tidak terurus dan cenderung liar. Harapannya,
dengan adanya fullday school, anak masih berada di sekolah hingga orang tua
mereka berada di rumah sepulang kerja. Alasan ini seperti menggeneralisir bahwa
semua orang tua siswa di Indonesia adalah para pekerja regular sebagaimana
pekerja kantoran yang berangkat pagi pulang sore. Padahal nyatanya tidak
demikian. Banyak ibu rumah tangga yang selalu berada di rumah mengurusi urusan
rumah.
Poin tujuan selanjutnya adalah bahwa
fullday school ini diharapkan bisa memberikan kesempatan bagi sekolah untuk meningkatkan pendidikan
karakter. Sekolah
memang salah satu pilar penting atas terbentuknya karakter positif siswa. Namun,
menambah jam belajar di sekolah dengan tujuan untuk meningkatkan pendidikan
karakter di sekolah sebenarnya sangat debatable. Kita sepertinya sangat
terbiasa dengan pilihan sikap yang quantity-oriented. Menganggap bahwa
kuantitas berkorelasi positif dengan hasil yang baik. Apakah ada jaminan bahwa
lamanya siswa belajar di sekolah membuat pendidikan karakter berjalan dengan
maksimal? Jangan sampai kita lupa bahwa pendidikan pertama yang diterima oleh
seorang anak berada di lingkungan keluarga. Dengan adanya fullday school, anak
pulang skeolah dalam keadaan lelah. Tentu mereka membutuhkan waktu untuk
istirahat karena banyaknya aktivitas selama di sekolah. Hal itu tentu
mengurangi porsi pendidikan karakter yang terbangun di lingkungan keluarga. Padahal
peran keluarga sangat penting dalam pendidikan karakter.
Lingkungan
masyarakat juga berperan dan berkontribusi cukup signifikan dalam pendidikan
karakter seorang individu. Anggapan bahwa anak yang pulang sekolah relative awal
dan punya terlalu banyak waktu luang setelahnya akan cenderung liar adalah
anggapan yang sepertinya terlalu menggeneralisir. Di antara anak-anak sekolah,
ada yang melanjutkan kegiatan mengaji di sore hari di madrasah-madrasah. Di madrasahmadrasah
tersebut ada muatan pendidikan karakter yang sangat kental. Adanya fullday
school, kesempatan pendidikan karakter yang disuguhkan oleh madrasah-madrasah
tereliminasi. Banyak juga anak sekolah yang memiliki kegiatan positif lainnya sepulang
sekolah. Di desa-desa, banyak anak yang membantu orang tua mereka mencari
rumput untuk ternak mereka. Ada juga yang mengikuti kegiatan les yang mengasah bakat
dan minat. Mengetahui hal ini, sebenarnya apa referensi pemerintah, sehingga
menyimpulkan bahwa anak sebaiknya pulang sore untuk menghindari hal yang tidak
diinginkan? Ini pertanyaan yang semestinya dijawab oleh pembuat kebijakan.
Pemerintah memiliki
otoritas untuk membuat kebijakan yang berkaitan dengan hajat hidup orang
banyak. Sudah selayaknya setiap kebijakan pemerintah diawali dengan kegiatan
riset. Kebijakan-kebijakan yang dibuat tidak selayaknya dibuat hanya mengikuti
pemikiran subjektif yang dimiliki oleh si pembuat kebijakan. Harus ada landasan
ilmiah. Landasan ilmiah tersebut bisa didapatkan melalui riset. Adakah korelasi
antara durasi waktu sekolah dengan prestasi siswa? Adakah korelasi antara
durasi waktu seklah dengan terbentuknya karakter siswa? Dan sederet
pertanyaan-pertanyaan lainya yang bisa dicari jawabannya melalui penelitian,
sebagai dasar pembuatan kebijakan. Selain itu, penyelenggaraan pendidikan di Negara-negara
maju juga selayaknya dijadikan sebagai bahan renungan. Mengapa FInlandia, Negara
dengan jumlah jam belajar di sekolah relative sedikit, bisa meraih pencapaian
yang besar dalam pendidikan. Apa variable-variable yang mempengaruhinya.
Mungkin fullday
school layak diterapkan jika berbagai aspek penunjang wellbeing siswa dan
tenaga pendidik terpenuhi. Siswa dan tenaga pendidik adalah manusia biasa yang
memiliki siklus biologis. Ada moment semangat dan penuh energy, ada rasa lelah
karena aktivitas, ada pula rasa ngantuk. Bayangkan, bagaimana rasanya menjalani
kegiatan belajar di ruang kelas dengan berbagai aktivitas mendengarkan ceramah
guru, mengerjakan tugas, dan berbagai aktivitas lainnya. Pendidik mungkin ada
waktu jeda mengajar, sehingga bisa menyempatkan diri untuk rebahan beberapa
menit atau jam. Apakah siswa memiliki kesempatan yang sama? Nyatanya tidak. Padahal
tidur siang adalah hal yang secara ilmiah berpengaruh positif terhadap
individu. Sebagaimana tidur siang bisa membantu menyegarkan pikiran, memacu
kreativitas, meningkatkan kecerdasan, dan membuat hidup lebih sehat (Nishida,
2007). Pendidik yang kreatif mungkin bisa menghadirkan proses pembelajaran yang
menarik dan engaging. Namun rasa
lelah karena seharian belajar tentu tetap akan berpengaruh terhadap sikp siswa
terhadap pembelajaran yang berlangsung. Sebagaimana yang disampaikan oleh
Townsend (2016);
“ A lesson which is not present in
ways that are stimulating might soon find students becoming what Barber ( 1996
) called the “disappointed,” the “disaffected,” and the “disappeared.”
Artikel
ini bukan untuk menyatakan persetujuan atau ketidaksetujuan pemerintah dalam membuat
kebijakan fullday school. Namun ini adalah kritik agar pemerintah melandasi kebijakannya
dengan riset ilmiah, bukan melalui pemikiran subjektif yang diamini oleh
orang-orang yang terlibat di dalam rapat perumusan kebijakan. Jika memang riset
menunjukkan adanya korelasi positif antara durasi belajar siswa di sekolah
dengan pencapaian prestasi secara khusus, serta pencapaian tujuan pendidikan secara
umum, maka layaklah kebijakan tersebut dirumuskan dan diterapkan.
Referensi
Nishida, M., & Walker, M. (2007). Daytime naps, motor memory
consolidation and regionally specific sleep spindles. PloS One, 2(4),
e341–e341. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0000341
Townsend T. (2016) Leading Schools
in the Twenty-First Century: Careful Driving in the Fast Lane. In: Johnson G.,
Dempster N. (eds) Leadership in Diverse Learning Contexts. Studies in
Educational Leadership, vol 22. Springer, Cham
Tidak ada komentar:
Posting Komentar