Setelah sebulan melaksanakan program lokakarya, berupa kuliah
tatap muka di ruang kelas klasikal, tibalah saatnya saya melaksanakan Praktik
Pengalaman Lapangan (PPL). PPL in merupakan bagian dari rangkaian program Pendidikan Profesi Guru Dalam Jabatan (PPG Daljab) yang saya laksanakan. Sebetulnya agak nyeri sih mengetahui bahwa saya yang
sudah mengajar hampir sepuluh tahun ini harus melaksanakan PPL, selayaknya
mahasiswa calon guru yang hampir selesai studinya. Namun, saya tetap berpikir
positif bahwa akan ada banyak hal yang bisa saya pelajari dari program PPL ini.
Sebelum pelaksanaan PPL, semua mahasiswa program PPG Daljab diberi kebebasan untuk memilih salah satu dari
sekian sekolah mitra kampus untuk menjadi tempat PPL. Saya memilih SMA X
(sensor), sekolah yangs erring diceritakan oleh banyak orang sebagai sekolah
paling favorit di kota tempat saya melaksanakan program PPG ini. Bukan tanpa alas
an saya memilih sekolah tersebut. Bukan pula karena biar terkesan keren ngajar
di sekolah favorit. Tujuanku satu, yaitu saya ingin mengobati rasa penasaran
yang sedari dulu ada. Ada satu rasa penasaran yang tinggi tentang konsep
sekolah favorit. Saya ingin tahu faktor lain apa yang menjadikan sebuah sekolah
diberi label favorit, selain faktor intake yang memang sudah bagus.
Dua kali saya melaksanakan PPL di tahun yang berbeda, dan di
program yang berbeda pula. PPL pertama saya lsayakan pada tahun 2006, di sebuah
sekolah paling favorit di ibukota Jawa Tengah. PPL kedua ini saya laksanakan di sebuah
kota besar di provinsi lain. Di kedua PPL tersebut, kebetulan saya mendapatkan
sekolah favorit. Sebenarnya saya ingin mendapatkan gambaran tentang manajemen
yang bagus sebuah sekolah favorit, standard pengelolaan pembelajaran yang bagus
yang menjadikan standard kelulusan tercapai maksimal hingga menjadikan sekolah tersebut
layak dilabeli favorit. Namun, yang saya dapatkan di luar ekspektasiku. Tidak
ada “faktor X” dalam proses pembelajaran yang menjadikan mutu lulusan bagus,
sehingga menjadikan sekolah tersebut favorit. Yang ada adalah bahwa
sekolah-sekolah favrit tersebut memang memiliki intake peserta didik yang
bagus. Mereka sebagian besar sudah memiliki motivasi belajar yang bagus, mendapat
dukungan belajar yang baik dari orang tua mereka, bahkan sebagian besar
memiliki akses belajar suplementer seperti mengikuti bimbingan belajar dan atau
les privat di rumah. Saya sempat tanya kepada beberapa
peserta didik di sekolah tersebut tentang kualitas pembelajaran yang ada di
kelas mereka. Jawaban mereka mengejutkan. Banyak guru yang masih mengajar dengan
nuansa teacher-centered, minim inovasi dan kreativitas, bahkan ada kelas yang
sering kosong tanpa guru, namun pembelajaran masih berjalan karena peserta
didik memiliki kesadaran mandiri untuk tetap belajar.
Gambaran berbeda akan muncul di sekolah yang berlabel
sebaliknya, tidak/ kurang favorit, dimana faktor-faktor pendukung seperti yang
disebutkan di atas masih menjadi masalah. Betapa besar tantangan mengajar di
sekolah non-favorit, dimana peserta didik masih harus berjuang untuk memiliki motivasi
belajar. Jangankan mengikuti kegiatan belajar suplementer, kesadaran untuk
meluangkan waktu belajar saja masih minim. Jangan berharap
jam kosong akan terisi dengan diskusi-diskusi mandiri peserta didik, karena
yang ada adalah euforia kosongnya jam yang diekspresikan dengan
aktivitas-aktivitas yang tak berhubungan dengan belajar sama sekali seperti
bermain game, ngerumpi, tiduran, dan
lainnya.
Andai kualitas sekolah bukan disebabkan oleh faktor bagusnya intake
semata, melainkan faktor penyelenggaraan pembelajaran yang bagus, maka ia akan
mudah untuk dijadikan prototipe yang bisa diaplikasikan di sekolah-sekolah lain
yang masih membutuhkan penataan agar menjadi sekolah yang bagus mutunya. Sekolah-sekolah
yang memiliki kualitas proses pembelajaran tersebut bisa dijadikan rujukan
untuk sekolah lainya. Hal ini bisa menjadi sebuah Lesson Study level sekolah. Ini yang saya harapkan dari PPL di
sekolah favorit, sebenarnya. Sayangnya, ekspektasiku belum pernah terwujud.
Seperti itukah tipikal sekolah favorit di Indonesia? Saya belum bisa
menyimpulkan, karena untuk mendapatkan jawaban itu perlu ada kajian lebih luas
dan dalam.
Gambaran sekolah favorit yang layak menjadi rujukan pernah saya
dapatkan saat melsayakan observasi pembelajaran di sebuah sekolah di
Queensland, Australia. Nama sekolah tersebut adalah Harristown State High
School. Saya benar-benar melihat bukti bahwa sekolah tersebut layak dilabeli
sekolah favorit karena kualitas lulusannya memang dipengaruhi oleh keren-nya
proses pembelajaran yang dilaksanakan. Saya menyaksikan sendiri beberapa kali proses
pembelajaran bahasa Inggris yang dikhususkan bagi anak-anak imigran dari timur
tengah. Proses pembelajaran yang dilaksanakan bisa membuat anak-anak imigran
yang awalnya memiliki kemampuan berbahasa Inggris persis nol hingga benar-benar
bisa berbahasa Inggris secara komunikatif. Tak ayal, sekolah tersebut sering
dijadikan tempat studi banding bagi sekolah-sekolah lain di sekitar Queensland.
Dengan demikian, kualitas pendidikan yang ada pada sekolah tersebut bisa
menular ke sekolah lain. Seperti itulah semestinya profil sekolah favorit yang
ada di negeri kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar