Sabtu, 16 November 2024

Refleksi PGP: Setelah selesai, ngapain?

 

Kita sudah selesai melaksanakan serangkaian kegiatan dalam program guru Penggerak. Lantas, setelahnya apa yang harus kita lakukan?

Setelah ini, apakah kita akan menjadi guru dengan performa yang jauh lebih baik, ataukah biasa saja seperti apa adanya kita sebelum mengikuti program Guru Penggerak?

Apakah kita akan menjadi guru yang berkontribusi lebih signifikan bagi dunia Pendidikan, ataukah biasa-biasa saja dan tak ada bedanya dengan mereka yang bukan Guru Penggerak?

Apakah sekolah tempat kita mengajar akan merasakan dampak atas meningkatnya kompetensi kita, ataukah akan biasa saja sebagaimana kondisi semula?

Pernahkah pertanyaan-pertanyaan seperti itu kita ajukan pada diri sendiri, sebagai bagian dari refleksi dan evaluasi?

Ataukah sama sekali tak pernah terbersit dalam sanubari, karena kita terlalu larut dalam selebrasi atas selesainya program ini?

Boleh lah kita ber-euforia atas “pencapaian” yang kita raih ini.

Biar bagaimanapun, membagi waktu agar kita bisa seimbang dalam melaksanakan tugas pokok sebagai pendidik dan menjalani proses Pendidikan PGP ini adalah hal yang cukup menantang dan layak mendapatkan apresiasi.

Di dalamnya, ada istirahat yang tertunda dan kantuk yang tertahan.

Di dalamnya, ada healing-healing yang tidak lagi jadi prioritas, bahkan hak atas keluarga, dan kesehatan mental yang cukup terabaikan.

Bukan lebay, karena memang berbagai tugas dalam PGP ini cukup menguras banyak hal dan membuat kita tidak santay.

Oleh karena itu, boleh lah kita melakukan selebrasi atas semua itu.

Namun, ada hal yang harus dipikirkan, yaitu apa langkah selanjutnya yang harus kita lakukan.

 

Program Guru Penggerak bukan lah soal gengsi karena kita hebat telah lolos seleksi.

Di dalamnya, ada tanggungjawab moral yang harus kita emban dan perlu pembuktian untuk dieksekusi.

 

Setelah menyelesaikan progam ini, kita tidak lagi berada pada fase tergerak dan bergerak.

Kita sudah berada pada fase menggerakkan.

Kita semestinya sudah tidak lagi hanya fokus meningkatkan kompetensi diri.

Melainkan, kita berada pada fase mendorong rekan sejawat untuk terus berkembang dan memperbaiki diri.

Kita sudah tidak lagi berada di fase memimpin diri.

Melainkan, kita harus menjadi pemimpin yang berpengaruh menciptakan perubahan.

 

Kita sudah banyak belajar tentang filosofi Pendidikan, terutama dari Ki hajar Dewantara.

Kita sudah banyak belajar tentang ilmu pedagogik, kepemimpinan, coaching, manajemen asset, mindset, dan bagaimana menghasilkan dampak kebaikan melalu prakarsa perubahan.

Kini saatnya kita mengimplementasikan apa yang telah kita dapatkan.

Semoga kalimat "tergerak, bergerak, dan mampu menggerakkan" mampu kita wujudkan, dan bukan hanya sekedar sebuah slogan.


Tugas besar menanti kita di hadapan, kawan!

Selasa, 12 November 2024

Si Kurang Ambisius

 

Aku sedang menjadi si “kurang ambisius”. Entah mengapa. Aku menjadi si “mengalir seperti air”, dan itu bukan aku banget. Aku yang dulu penuh dengan obsesi. Kini aku tak ubahnya mereka yang berprinsip “yang penting hidup”.

Aku tau bahwa setiap kehidupan pasti akan berakhir kematian. Konon itulah yang menjadi dasar pemikiran banyak orang sukses kenapa mereka mau mengambil resiko besar, karena semua pasti akan mati. Dengan kesadaran tersebut, aku semestinya lebih bersikap nothing to lose terhadap kemungkinan resiko apapun yang akan aku hadapi. Toh selama ini juga aku sudah terbiasa dengan hidup penuh keterbatasan, dan dalam menjalani hidup aku sudah akrab dengan kekurangan.

aku tidak boleh kalah terus.

Aku harus raih kemenangan-kemenangan besar.

Ibarat hidup hanya sehari, sekarang matahari sedang berada persis di atasku. Suatu saat, ia tersebut pasti akan tenggelam. Dan setelah itu, aka nada pergantian episode kehidupan, yang masih misterius. Aku harus maksimalkan waktu saat matahari masih cerah dan tepat berada di atasku.

Saksikan, ini aku, dengan semangat, mindset, keyakinan, dan tekadku yang baru!

Minggu, 03 November 2024

Menjadi Guru, Refleksi Diri

 

Dan aku berada di titik ini. Titik dimana aku merenungi apa yang menjadi tujuanku menjadi seorang guru. Apakah itu untuk gaji, ataukah ada value yang jauh lebih bermakna dari sekedar gaji?

Sejenak aku tersadar bahwa aku seperti kehilangan arah. Jika gaji adalah alasan utamaku, lantas apakah motif gaji begitu worth it nya?

Jika mengabdikan diri menjadi guru bagi generasi bangsa adalah value yang aku pegang, lantas seberapa besar kontribusi pengabdian yang sudah aku berikan? Sudah seberapa signifikankan peranku dalam mengabdi?

Ataukah itu karena ada dorongan untuk berprestasi dalam dunia Pendidikan?

Jika iya, lantas prestasi seperti apa yang ingin aku raih, atau yang telah aku torehkan? Jangan-jangan sangat minim, atau bahkan tidak ada.

 

Hari berganti hari. Kemudian berganti bulan, tahun, bahkan berganti lebih dari 10 tahun. Sudah lama, ternyata. Aku seperti masih saja menjadi orang yang hanya menjalankan rutinitas tanpa ruh.

Lalu apa alasan aku bertahan?

Sebuah pertanyaan yang semestinya sudah lama aku dapatkan jawabannya.

Dan ironisnya, entah apa jawabannya aku belum paham.

Hidup hanya sekali, dan kesempatan kita dibatasi oleh waktu.

Tak mungkin kita muda selamanya.

Tak mungkin kita berfisik prima selamanya.

Akan ada titik kulminasi, dan aka nada titik resolusi.

Atau jangana-jangan, selama ini bukan diriku yang menggerakkan diri ini, melainkan validasi-validasi dari orang lain. Atau penilaian-penilaian dan pemikiran-pemikiran orang lain?

Ngeri sekali aku seperti orang yang berjalan di tengah jalanan penuh kabut tebal dan tak tau arah.

Apa-apaan ini?

Ini bukan aku yang sesungguhnya.

Aku harus segera kembali ke sejatinya aku.

Aku butuh meditasi.

Aku butuh perenungan diri.

Aku butuh re-setting-up.

Aku butuh berbenah diri.

Dan aku butuh berubah menjadi jauh lebih baik lagi.

Hidup terus berjalan, dan langkahku harus terarah, walau agak pelan.